Jumat, 12 Februari 2016

pandangan Agama dalam masyarakat

PANDANGAN  AGAMA DALAM MASYARAKAT MENURUT EMPAT  TOKOH

Pembahasan

1.      Pandangan Agama dalam masyarakat menurut Emile Durkheim
Teori Durkheim mengenai Agama pada umumnya di jelaskan ecara rinci dalam bukunya The elementary forns of religious life. Namun perlu perlu juga di pertimbangkan tentang relevansi tesis utamanya daalam buku sebelumnya, Devision of labour. Buku ini mendudukan Durkheim sepenuhnya dalam tradisi pemikiran evolusioner, jauh lebih jelas daripada yang di jelaskan dalam bukunya Elementary Forms, yang mengemukakan analisis rinci tentang suatu agama primitif, meskipun menarik tentang berbagai peristiwa sosial yang teradi berbarengan dengan perkembangan menuju moenotisme dan universalisme. Durkheim mengubah sendiri tema evolusioner dari spencer dari masyaraat sederhana yang homogeny sampai masyarakat hiterogen. Corak masyarakat ang pertama di tandai dengan “solidaritas mekanik”  di mana anggota memiliki kesamaan pengetahuan dan pengalaman dan kerena itu mereka mengakui aturan-aturan, nilai, dan otoritas yang sama. Setiap pelanggaran terhadap aturan akan di perlakukan sebaagai serangan terhadap seluruh aturan, dan di anggap sebagai pemyimpangan dan peremehan terhadap kesakralan. Solidaritas mekanik adlah solidaritas yang di kokohkan oleh hal-hal skaral dalam masyarakat yang bersangkutan.[1]
Durkheim berpendapat bahwa fungsi agama menghambat perubahan sosial dan mempertahankan solidaritas pada kelompok-kelompok yang ada, selama Agama tertentu tidak dapat melaksanakan fungsi ini secara berhasil, berbagai kelompok baru akan muncul yang pada gilirannya akan di anggap sacral pada kelompoknya. Mengenai masyarakat-masyarakat industry modern dia melihat Nasionalisme dan komunisme sebagai Agama-Agama penganti bagi bebagai bentuk Agam Kristen, dengan mengemukakan bahwa tidak ada sebuah masyarakatpun bisa hidup tanpa menberikan pandangan kepada para anggotanya bentuk hidup yang ideal. Barangkali bisa di perdebatkan bahwa kedua kesimpulan Durkheim itu terbukti benar dalam hubungannya dengan masyarakat-masyarakat industry modern, yakni bahwa kadang-kadang Nasionalsme dan komunisme berkembang dwngan semangat keagamaan dan peribadatan yang sesuai dengannya, dan kadang-kadang ada juga kemajuan nyata dalam sekuralisasi. Meskipun hal ini benar-benar bisa terjadi, kesulitan masih teta ada, yakni bahwa penilaian-penilaian Durkheim yang bermacam-macam tidak memungkinkan dia untuk menentukan factor-faktor sosial atau psikologik kah yang bepengaruh paling besar terhadap berbagai keadaan dari kenyakinan lama, kenyakinan baru atau lama sama sekali tanpa kenyakinan.[2]

2.      Pandangan Agama dalam masyarakat menurut Max Weber
Buku Weber yang terkenal berjudul the protestan Ethic and the spirit of Capitalism, Weber membahas hubungan berbagai kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan ekonomi. Persoalan ini dalam konteks Agama-Agama dan peradaban-peradaban yang berbeda-beda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap Agama Yahudi kuno, dan terhadap berbagai Agama di India dan Cina. Pandangan Weber dalam penolakan terhadap trades, atau perubahan sangat cepat dalam metode dan valuasi terhadap kegiatan ekonomi, tidak akan bisa terjadi tanpa dorongan modal dan Agama. Namun ia juga mengajkan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam bebagai cara yang di tempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut bagian dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri. Distribusi pekerjaan dan persiapan pendidiakan bagi mereka menunjukan bahwa para pnganut Kristen Protestan Calvinis ebih besar kemungkinannya untuk memainkan peranan dalam dunia usaha dan manajerial, serta untuk melakukan pekerjaan di berbagai organisasi modern berskala besar, di bandingkan dengan penganut Khatolik atau Protestan. Weber berusaha mengidentifiasi berbagai cirri yang membedakan antara Calvinisme dan beberapa versi lain agama Protestan. Mengenai masalah pertama, dia tidak membantah bahwa perintis kapitalisme lebih rakus daripada pendahulunya di kalangan masyarakat bukan kapitalis , dan yang di sebut belakangan ini tidak menyadari bahwa jalan menuju kemakmuran terletak pengumpulan modal.  Dalam konteks Agama Kristen, Weber memperkenalkan istilah asketisisme dunia batin untuk mengimbangi para aktivis puritan dengan Pendetan Khatolik. Kedua duannya asketisisme dunia batin dengan aktivis puritan mempraktekan pandangan hidup asketik, yang oertam dengan tujuan untuk membuktikan kepada dirinya sendirinya akan akan pilihannya pada kehidupan abadi, sedankan yang lainnya dengan maksud agar mendapatkan keselamatan bagi dirinya.[3]
Dalam hal apapun kenyakinan Agama mengilhami mereka umtuk menuju ke suatu pandangan hidup dimana keinginan napsu di tundukkan di bawah susatu pola kegiatan, godaan-godaan yang menuju kepada pemuasaan napsu birahi di perkecil, dan di siplin pribadi di laksanakan sedemikian rupa sehingga semua perbuatan di tujukan untuk mendapatkan tujuan terakhir, yiatu keselamatan. Namun meskipun pendetan menganggap tujuannya adalah keharusan untuk meninggalkan kehidupan sexsual dan kekeluargaan, harta dan hubungan-hubungan kelompok, dan keikutsertaan dalm politik, para pengikut Calvinisme justeru peraya bahwa semua perbuatan ini, bila ditata dan dikoordinasikan secara baik, dapat membantu pemenuhan kehendak Tuhan, dan merupakan bagian dari pengangugan Tuhan di muka Bumi yang merupakan tugas utama Manusia. Weber menganggap Asketesisme dunia lain keakhiratan, yang di lakukan oleh para pendeta lebih menyerupai tuntunan di bandingkan denagn askentesisme dunia batin yang di lakukan aktivis puritan, dan mengakui bahwa kedua tujuan itu dapat berkurang dan pelaksanaan aktualnya.menurut Weber bila pendeta itu semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pemgaruhnya, sedangkan sebaliknya bila aktivis puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar pengaruhnya. Dan Weber mengamati secara cermat Agama lian yang mengajarkan asketesisme, tetapi bukan variasi asketesisme dunia batin. Ajaran pokok taoisme adalah bahwa ada satu cara atau jalan alami yang dapat juga di ikuti oleh manusia, asalkan dia membatasi ketamakannya untuk diri sendiri, persaingan dan sikap permusuhan. Dia dapat melaksankannya sebaik-baiknya dengan cara dengan meninggalkan semua kegiatan yang mendatangkan godaan-godaan ini, bukan dengan menilainya sebagai bagian dari jalan yang dapat memenuhi kehendak Tuhan. Dengan demikian, godaan, menjauh diri dari politik, kemandirian, bukan ketamakan, sebagai tujuan ekonomik, bersumber dari pandangan taois. Penghalang bagi kapitalisme ini, sebagaimana halnya dalam Agama Budhha, diperkuat dengan kecenderungan untuk kembali kembali kepada magi(sihir) dan animisme, menurut Weber di benarkan dan bahkan didorong oleh taoisme.[4]

3.      Pandangan Agama dalam masyarakat menurut karl marx
Marx adalah seorang tokoh evolusionis, dalam kaitannya dengan masalh-masalah keagamaan maupun ekonomik, tetapi baginya gerakan menuju kompleksitas sosial juga dan selalu merupakan grakan menuju konflik sosial, yakni konflik di antara kelompok-kelompok atau kelas-kelas yang bekepentinagna ekonomik. Meskipun dia bersedia melakukan perampakan (generalisasi) mengenai Agama dalam pada semua masyarakat, dia terutama menarik dengan Agama pada masyarakat-masyarakat yang di dominasi oleh pertentangan kelas, dan dengan  Agama dalam  mengekspresikan atau menghambat pertumbuhan kesadaran kelas di antara orang-orang tertindas. Dan Marx memandang Agama sebuah jeritan maklhuk tertindas, jiwa dari dunia yang tidak berjiwa, dan makna dari kondisi-kondisi yang tidak bermakna. Agama adalah candu rakyat.[5]
Marx pada mulanya tidak tertarik dengan Agma, dan buku-bukunya hanaya berisi acuan-acuan umum saja mengenai Agama namun justru dialah yang mengemukakan kerangka gagasan yang kemudian di gunakan ooleh Engels untuk menganalisis bebrapa aspek khusus sejarah Agama. Secara panjang lebar Engels menulis tentang sejarah Agama Kristen pada masa-masa pertamanya dan struktur masyarakat di dalmnya yang dikembangkannya, tentang berbagaii aspek Agama dalam oerang pemborantakan petani Jerman pada abd ke-16, dan tentang ketidakberagamaan kelompok pekerja Inggris pad abad ke-19. Teori Marx mengenai Agama merupakan bagian dari teori umum yang di kemukakannya mengenai alienasi. Dia berpendapat manusia dalam kehiduan bersama mereka menciptakan berbagai produk sosial. Produk-produ ini bisa berupa benda-benda material, seperti bahan makanan dan bangunan-bangunan, atau produk-produk immaterial, seperti struktur sosial, ilmu pengetahuan atau Agama. Selama manusia tidak terpecah-pecah menjadi dalam beberapa kelas yang saling berlawanan, sebagaimana ketika mereka tidak terpecah-pecah fase komunisme primitive, produk-produk sosial ini diakua sebagai suatu yang di bentuk oleh manusia, dank arena itu bisa mereka bentuk kembali. Kepercayaan-kepercayaan keagamaan yakni pengakuan atas kebenaran mutlak dan tertinggi dogma-dogma dan aturan-aturan tingkah lakunya =, lebih tepikal terhadap kelas tertindas daripada terhadap para penindasnya, kondisi mereka yang tidak memiliki hak-apa-apa, dan karna itu juga tidak memiliki hak untuk mengatur lingkungan hidup mereka, tercermin dalam penyerahan diri mereka kepada Agama. Bagi mereka Agama mengesahkan tatanan ekonomik dan politik yang menempatkan posisi mereka dalam tertindas, dan memberikan kompensasi atas penderitaan-penderitan mereka berupa fantasi-fantasi dalam kehidupan di akhirat kelak.[6]
Mengenai bebagai kemampuan dan kreativitas mnusia seperti percaya bahwa tatanan sosial tergantung pada otoritas Tuhan dan yang tidak dapat di ganggu gugat, dan Marx menyadari bahwa berbagai masyarakatyang primitive ataupun yang terpecah-pecah mempunyai beberapa kelas ternyata bersifat rejigius, maka dia berpendapat bahw sumber berbagai agama yang benar-benar primitive terhadap berbagai proses sosial, dan kerena berbagai perasaan ke tergantungan dan ketakutan kepada kekuatan-kekuatan alam meskipun ke tidaktahuan ini dalam tingkat apapun tetap ada. Menurut Mrx kepercayaan terhadap Agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti penyerahan ketika menghadapi penindasan. Pada saat penyerahan mulia berubah menjadi kesadran kelas dan perjuangan mnentang para penindasan  hal ini bisa mengambil bentuk bukan penolakan terhadap semua Agama, melainkan pembentukan Agama baru dimana nilai-nilai Agama yang lama di putarbalikan.[7]

4.      Pandangan Agama dalam masyarakat menurut Georg Simmel
Menurut Simmel masyarakat adalah suatu bentuk interaksi sosial atau hubungan sosial yang terpola seperti halnya jaring laba-laba dan tugas sosiolog untuk meneliti bentuk interaksi sedemikian itu bagaimana mereka terjadi dan mewujud di dalam kehidupan sejarah dan seiring dengan budaya yang berbeda. Adapun bentuk-bentuk dari hubungan sosial menurut Simmel: Dominasi (penguasaan), Subordinasi (penundukan), kompetisi, imitasi, pembagian pekerjaan, pembentukan kelompok atau partai-partai dan banyak lagi bentuk perhubungan sosial lain yang semuanya selalu terdapat di dalam kesatuan-kesatuan sosial seperti kesatuan agama, kesatuan keluarga, kesatuan organisasi dagang, sekolah dan lain-lain.[8]
Dalam pandangan Simmel, pokok permasalahan yang sangat tepat untuk sosiologi adalah bentuk-bentuk interaksi dibandingkan dengan isi interaksi. Bentuk-bentuk seperti sosiabilitas menunjukkan pentingnya pembedaan itu, karena bentuk-bentuk khusus itu dapat dimengerti tanpa harus menghubungkannya dengan isinya. Bentuk superordinasi dan subordinasi berbeda, menurut apakah subordinasi itu di bawah satu orang, sejumlah orang, atau suatu prinsip yang ideal. Demikian pula, bentuk-bentuk konflik berbeda menurut tingkat keakraban atau keterlibatan dari pihak-pihak dalam konflik itu secara timbal balik.[9]

Menurut Goerg Simmel Subordinasi sebagai suatu keadaan yang menekan, menyangkal atau mengediakan kebebasan subordinat. Perilaku superordinat, menurut Simmel bukan merupakan manifestasi dari karakteristik pribadi atau kemauan individu; perilaku itu mencerminkan tenggelamnya sebagian kepribadian pada pengaruh bentuk sosial. Simmel membedakan subordinasi dalam tiga jenis. Pertama, subordinasi di bawah seorang individu. Dalam konteks ini subordinat dapat dipersatukan dan dapat pula menjadi oposisi, sangat tergantung pada kondisi. Kedua, subordinasi dibawah pluralitas individu. Kondisi ini memungkinkan subordinat mendapat perlakuan yang obyektif, adil dari superordinat. Hal ini pada masyarakat demoktratis. Ketiga, Subordinasi dibawah suatu prinsip ideal (umum): peraturan hati nurani. Hubungan antara subordinat diatur oleh prinsip-prinsip obyektif atau hukum-hukum dimana kedua belah pihak itu diharapkan untuk taat. Contoh pemimpin agama atau moral. Secara umum, menurut Simmel bahwa terganggunya hubungan antara superordinat dan subordinat akan menyebabkan konflik. Konflik menurut Simmel dapat mempersatukan kelompok minoritas untuk melawan kelompok yang mayoritas dengan membentuk aliansi. Untuk mengakhiri konflik dapat melalui kompromi atau perdamian.  Beberapa bentuk konflik dapat berupa konflik hukum, konflik kelompok, konflik antar pribadi, dan lainnya.[10]



DAFTAR PUSTAKA

Ritzer, George dan Douglas. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: kencana
Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Prenada Media





[1] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama, (Jakarta: Prenada Media, 2004) 21-26
       [2] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama. . . 21-26
       [3] Ibid
       [4] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama. . . 205- 218
       [5] Ibid. . . 26
       [6] Betty R. Scharf, Sosiologi Agama. . .124-125
       [7] Ibid. . . 127
       [8] George Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: kencana, 2010) 42-45
       [9] George Ritzer dan Douglas, Teori Sosiologi Modern. . . 42-45
       [10] Ibid

Tidak ada komentar:

Posting Komentar