PANDANGAN AGAMA DALAM MASYARAKAT MENURUT EMPAT TOKOH
Pembahasan
1. Pandangan Agama dalam masyarakat menurut Emile
Durkheim
Teori Durkheim mengenai Agama pada umumnya di
jelaskan ecara rinci dalam bukunya The
elementary forns of religious life. Namun perlu perlu juga di pertimbangkan
tentang relevansi tesis utamanya daalam buku sebelumnya, Devision of labour. Buku ini mendudukan Durkheim sepenuhnya dalam
tradisi pemikiran evolusioner, jauh lebih jelas daripada yang di jelaskan dalam
bukunya Elementary Forms, yang mengemukakan analisis rinci tentang suatu agama
primitif, meskipun menarik tentang berbagai peristiwa sosial yang teradi
berbarengan dengan perkembangan menuju moenotisme dan universalisme. Durkheim
mengubah sendiri tema evolusioner dari spencer dari masyaraat sederhana yang
homogeny sampai masyarakat hiterogen. Corak masyarakat ang pertama di tandai
dengan “solidaritas mekanik” di mana
anggota memiliki kesamaan pengetahuan dan pengalaman dan kerena itu mereka
mengakui aturan-aturan, nilai, dan otoritas yang sama. Setiap pelanggaran
terhadap aturan akan di perlakukan sebaagai serangan terhadap seluruh aturan,
dan di anggap sebagai pemyimpangan dan peremehan terhadap kesakralan.
Solidaritas mekanik adlah solidaritas yang di kokohkan oleh hal-hal skaral dalam
masyarakat yang bersangkutan.[1]
Durkheim berpendapat bahwa fungsi agama
menghambat perubahan sosial dan mempertahankan solidaritas pada
kelompok-kelompok yang ada, selama Agama tertentu tidak dapat melaksanakan
fungsi ini secara berhasil, berbagai kelompok baru akan muncul yang pada gilirannya
akan di anggap sacral pada kelompoknya. Mengenai masyarakat-masyarakat industry
modern dia melihat Nasionalisme dan komunisme sebagai Agama-Agama penganti bagi
bebagai bentuk Agam Kristen, dengan mengemukakan bahwa tidak ada sebuah
masyarakatpun bisa hidup tanpa menberikan pandangan kepada para anggotanya
bentuk hidup yang ideal. Barangkali bisa di perdebatkan bahwa kedua kesimpulan
Durkheim itu terbukti benar dalam hubungannya dengan masyarakat-masyarakat
industry modern, yakni bahwa kadang-kadang Nasionalsme dan komunisme berkembang
dwngan semangat keagamaan dan peribadatan yang sesuai dengannya, dan
kadang-kadang ada juga kemajuan nyata dalam sekuralisasi. Meskipun hal ini
benar-benar bisa terjadi, kesulitan masih teta ada, yakni bahwa penilaian-penilaian
Durkheim yang bermacam-macam tidak memungkinkan dia untuk menentukan
factor-faktor sosial atau psikologik kah yang bepengaruh paling besar terhadap
berbagai keadaan dari kenyakinan lama, kenyakinan baru atau lama sama sekali
tanpa kenyakinan.[2]
2. Pandangan Agama dalam masyarakat menurut Max
Weber
Buku Weber yang terkenal berjudul the
protestan Ethic and the spirit of Capitalism, Weber membahas hubungan berbagai
kepercayaan keagamaan dan etika praktis, khususnya etika dalam kegiatan
ekonomi. Persoalan ini dalam konteks Agama-Agama dan peradaban-peradaban yang
berbeda-beda, tetap menjadi perhatian utamanya, dan kajiannya terhadap Agama
Yahudi kuno, dan terhadap berbagai Agama di India dan Cina. Pandangan Weber
dalam penolakan terhadap trades, atau perubahan sangat cepat dalam metode dan
valuasi terhadap kegiatan ekonomi, tidak akan bisa terjadi tanpa dorongan modal
dan Agama. Namun ia juga mengajkan bukti mengenai tetap adanya perbedaan dalam
bebagai cara yang di tempuh oleh berbagai kelompok keagamaan untuk ikut bagian
dalam kapitalisme yang mapan pada masanya sendiri. Distribusi pekerjaan dan
persiapan pendidiakan bagi mereka menunjukan bahwa para pnganut Kristen
Protestan Calvinis ebih besar kemungkinannya untuk memainkan peranan dalam
dunia usaha dan manajerial, serta untuk melakukan pekerjaan di berbagai
organisasi modern berskala besar, di bandingkan dengan penganut Khatolik atau
Protestan. Weber berusaha mengidentifiasi berbagai cirri yang membedakan antara
Calvinisme dan beberapa versi lain agama Protestan. Mengenai masalah pertama, dia
tidak membantah bahwa perintis kapitalisme lebih rakus daripada pendahulunya di
kalangan masyarakat bukan kapitalis , dan yang di sebut belakangan ini tidak
menyadari bahwa jalan menuju kemakmuran terletak pengumpulan modal. Dalam konteks Agama Kristen, Weber
memperkenalkan istilah asketisisme dunia batin untuk mengimbangi para aktivis
puritan dengan Pendetan Khatolik. Kedua duannya asketisisme dunia batin dengan
aktivis puritan mempraktekan pandangan hidup asketik, yang oertam dengan tujuan
untuk membuktikan kepada dirinya sendirinya akan akan pilihannya pada kehidupan
abadi, sedankan yang lainnya dengan maksud agar mendapatkan keselamatan bagi
dirinya.[3]
Dalam hal apapun kenyakinan Agama mengilhami
mereka umtuk menuju ke suatu pandangan hidup dimana keinginan napsu di
tundukkan di bawah susatu pola kegiatan, godaan-godaan yang menuju kepada
pemuasaan napsu birahi di perkecil, dan di siplin pribadi di laksanakan
sedemikian rupa sehingga semua perbuatan di tujukan untuk mendapatkan tujuan
terakhir, yiatu keselamatan. Namun meskipun pendetan menganggap tujuannya
adalah keharusan untuk meninggalkan kehidupan sexsual dan kekeluargaan, harta
dan hubungan-hubungan kelompok, dan keikutsertaan dalm politik, para pengikut
Calvinisme justeru peraya bahwa semua perbuatan ini, bila ditata dan
dikoordinasikan secara baik, dapat membantu pemenuhan kehendak Tuhan, dan
merupakan bagian dari pengangugan Tuhan di muka Bumi yang merupakan tugas utama
Manusia. Weber menganggap Asketesisme dunia lain keakhiratan, yang di lakukan
oleh para pendeta lebih menyerupai tuntunan di bandingkan denagn askentesisme
dunia batin yang di lakukan aktivis puritan, dan mengakui bahwa kedua tujuan
itu dapat berkurang dan pelaksanaan aktualnya.menurut Weber bila pendeta itu
semakin dekat dengan dunia maka semakin kecil pula pemgaruhnya, sedangkan
sebaliknya bila aktivis puritan semakin dekat maka dia akan semakin besar
pengaruhnya. Dan Weber mengamati secara cermat Agama lian yang mengajarkan
asketesisme, tetapi bukan variasi asketesisme dunia batin. Ajaran pokok taoisme
adalah bahwa ada satu cara atau jalan alami yang dapat juga di ikuti oleh
manusia, asalkan dia membatasi ketamakannya untuk diri sendiri, persaingan dan
sikap permusuhan. Dia dapat melaksankannya sebaik-baiknya dengan cara dengan
meninggalkan semua kegiatan yang mendatangkan godaan-godaan ini, bukan dengan
menilainya sebagai bagian dari jalan yang dapat memenuhi kehendak Tuhan. Dengan
demikian, godaan, menjauh diri dari politik, kemandirian, bukan ketamakan,
sebagai tujuan ekonomik, bersumber dari pandangan taois. Penghalang bagi
kapitalisme ini, sebagaimana halnya dalam Agama Budhha, diperkuat dengan
kecenderungan untuk kembali kembali kepada magi(sihir) dan animisme, menurut
Weber di benarkan dan bahkan didorong oleh taoisme.[4]
3. Pandangan Agama dalam masyarakat menurut karl
marx
Marx adalah seorang tokoh evolusionis, dalam
kaitannya dengan masalh-masalah keagamaan maupun ekonomik, tetapi baginya
gerakan menuju kompleksitas sosial juga dan selalu merupakan grakan menuju
konflik sosial, yakni konflik di antara kelompok-kelompok atau kelas-kelas yang
bekepentinagna ekonomik. Meskipun dia bersedia melakukan perampakan
(generalisasi) mengenai Agama dalam pada semua masyarakat, dia terutama menarik
dengan Agama pada masyarakat-masyarakat yang di dominasi oleh pertentangan
kelas, dan dengan Agama dalam mengekspresikan atau menghambat pertumbuhan
kesadaran kelas di antara orang-orang tertindas. Dan Marx memandang Agama
sebuah jeritan maklhuk tertindas, jiwa dari dunia yang tidak berjiwa, dan makna
dari kondisi-kondisi yang tidak bermakna. Agama adalah candu rakyat.[5]
Marx pada mulanya tidak tertarik dengan Agma,
dan buku-bukunya hanaya berisi acuan-acuan umum saja mengenai Agama namun
justru dialah yang mengemukakan kerangka gagasan yang kemudian di gunakan ooleh
Engels untuk menganalisis bebrapa aspek khusus sejarah Agama. Secara panjang
lebar Engels menulis tentang sejarah Agama Kristen pada masa-masa pertamanya
dan struktur masyarakat di dalmnya yang dikembangkannya, tentang berbagaii
aspek Agama dalam oerang pemborantakan petani Jerman pada abd ke-16, dan
tentang ketidakberagamaan kelompok pekerja Inggris pad abad ke-19. Teori Marx
mengenai Agama merupakan bagian dari teori umum yang di kemukakannya mengenai
alienasi. Dia berpendapat manusia dalam kehiduan bersama mereka menciptakan
berbagai produk sosial. Produk-produ ini bisa berupa benda-benda material,
seperti bahan makanan dan bangunan-bangunan, atau produk-produk immaterial,
seperti struktur sosial, ilmu pengetahuan atau Agama. Selama manusia tidak
terpecah-pecah menjadi dalam beberapa kelas yang saling berlawanan, sebagaimana
ketika mereka tidak terpecah-pecah fase komunisme primitive, produk-produk
sosial ini diakua sebagai suatu yang di bentuk oleh manusia, dank arena itu
bisa mereka bentuk kembali. Kepercayaan-kepercayaan keagamaan yakni pengakuan
atas kebenaran mutlak dan tertinggi dogma-dogma dan aturan-aturan tingkah
lakunya =, lebih tepikal terhadap kelas tertindas daripada terhadap para
penindasnya, kondisi mereka yang tidak memiliki hak-apa-apa, dan karna itu juga
tidak memiliki hak untuk mengatur lingkungan hidup mereka, tercermin dalam
penyerahan diri mereka kepada Agama. Bagi mereka Agama mengesahkan tatanan
ekonomik dan politik yang menempatkan posisi mereka dalam tertindas, dan
memberikan kompensasi atas penderitaan-penderitan mereka berupa fantasi-fantasi
dalam kehidupan di akhirat kelak.[6]
Mengenai bebagai kemampuan dan kreativitas
mnusia seperti percaya bahwa tatanan sosial tergantung pada otoritas Tuhan dan
yang tidak dapat di ganggu gugat, dan Marx menyadari bahwa berbagai
masyarakatyang primitive ataupun yang terpecah-pecah mempunyai beberapa kelas
ternyata bersifat rejigius, maka dia berpendapat bahw sumber berbagai agama
yang benar-benar primitive terhadap berbagai proses sosial, dan kerena berbagai
perasaan ke tergantungan dan ketakutan kepada kekuatan-kekuatan alam meskipun
ke tidaktahuan ini dalam tingkat apapun tetap ada. Menurut Mrx kepercayaan
terhadap Agama yang mendukung masyarakat berkelas pada dasarnya merupakan bukti
penyerahan ketika menghadapi penindasan. Pada saat penyerahan mulia berubah
menjadi kesadran kelas dan perjuangan mnentang para penindasan hal ini bisa mengambil bentuk bukan penolakan
terhadap semua Agama, melainkan pembentukan Agama baru dimana nilai-nilai Agama
yang lama di putarbalikan.[7]
4. Pandangan Agama dalam masyarakat menurut
Georg Simmel
Menurut Simmel masyarakat adalah suatu bentuk interaksi
sosial atau hubungan sosial yang terpola seperti halnya jaring laba-laba dan
tugas sosiolog untuk meneliti bentuk interaksi sedemikian itu bagaimana mereka
terjadi dan mewujud di dalam kehidupan sejarah dan seiring dengan budaya yang
berbeda. Adapun bentuk-bentuk dari hubungan sosial menurut Simmel: Dominasi
(penguasaan), Subordinasi (penundukan), kompetisi, imitasi, pembagian
pekerjaan, pembentukan kelompok atau partai-partai dan banyak lagi bentuk
perhubungan sosial lain yang semuanya selalu terdapat di dalam
kesatuan-kesatuan sosial seperti kesatuan agama, kesatuan keluarga, kesatuan
organisasi dagang, sekolah dan lain-lain.[8]
Dalam pandangan Simmel, pokok permasalahan yang sangat tepat
untuk sosiologi adalah bentuk-bentuk interaksi dibandingkan dengan isi
interaksi. Bentuk-bentuk seperti sosiabilitas menunjukkan pentingnya pembedaan
itu, karena bentuk-bentuk khusus itu dapat dimengerti tanpa harus
menghubungkannya dengan isinya. Bentuk superordinasi dan subordinasi berbeda,
menurut apakah subordinasi itu di bawah satu orang, sejumlah orang, atau suatu
prinsip yang ideal. Demikian pula, bentuk-bentuk konflik berbeda menurut
tingkat keakraban atau keterlibatan dari pihak-pihak dalam konflik itu secara
timbal balik.[9]
Menurut Goerg Simmel Subordinasi sebagai suatu keadaan yang
menekan, menyangkal atau mengediakan kebebasan subordinat. Perilaku
superordinat, menurut Simmel bukan merupakan manifestasi dari karakteristik
pribadi atau kemauan individu; perilaku itu mencerminkan tenggelamnya sebagian
kepribadian pada pengaruh bentuk sosial. Simmel membedakan subordinasi dalam
tiga jenis. Pertama, subordinasi di bawah seorang individu. Dalam konteks ini
subordinat dapat dipersatukan dan dapat pula menjadi oposisi, sangat tergantung
pada kondisi. Kedua, subordinasi dibawah pluralitas individu. Kondisi ini
memungkinkan subordinat mendapat perlakuan yang obyektif, adil dari
superordinat. Hal ini pada masyarakat demoktratis. Ketiga, Subordinasi dibawah
suatu prinsip ideal (umum): peraturan hati nurani. Hubungan antara subordinat
diatur oleh prinsip-prinsip obyektif atau hukum-hukum dimana kedua belah pihak
itu diharapkan untuk taat. Contoh pemimpin agama atau moral. Secara umum,
menurut Simmel bahwa terganggunya hubungan antara superordinat dan subordinat
akan menyebabkan konflik. Konflik menurut Simmel dapat mempersatukan kelompok
minoritas untuk melawan kelompok yang mayoritas dengan membentuk aliansi. Untuk
mengakhiri konflik dapat melalui kompromi atau perdamian. Beberapa bentuk konflik dapat berupa konflik
hukum, konflik kelompok, konflik antar pribadi, dan lainnya.[10]
DAFTAR PUSTAKA
Ritzer, George dan Douglas. 2010. Teori Sosiologi Modern. Jakarta: kencana
Scharf, Betty R. 2004. Sosiologi Agama. Jakarta: Prenada Media
Tidak ada komentar:
Posting Komentar